Curahan Hati yang Gundah: Kumpulan Contoh Diary Galau

Terkadang, ada begitu banyak pikiran dan perasaan yang bergejolak di dalam diri. Rasa sedih, kecewa, bingung, atau sekadar merasa tidak dimengerti bisa menumpuk dan menciptakan kegelisahan. Menulis diary adalah salah satu cara paling jujur untuk menumpahkan segala isi hati, tanpa perlu filter, tanpa takut dihakimi. Sebuah diary adalah sahabat setia yang mendengarkan setiap keluh kesah, setiap tawa kecil yang tersembunyi, dan setiap tetes air mata yang jatuh.

Di halaman-halaman ini, Anda akan menemukan serangkaian goresan pena, kumpulan contoh diary galau, yang merefleksikan berbagai fase emosi yang mungkin juga Anda alami. Ini adalah representasi dari pikiran-pikiran yang mengganggu tidur, impian yang samar, dan kenyataan yang kadang terasa begitu berat. Setiap entri adalah jendela kecil menuju dunia batin seseorang yang sedang mencoba memahami perasaannya sendiri, mencari makna di tengah kebingungan, dan berharap menemukan sedikit kedamaian.

Mari kita selami bersama kisah-kisah hati yang gundah ini, bukan untuk ikut larut dalam kesedihan, melainkan untuk menemukan bahwa kita tidak sendiri dalam merasakan kompleksitas emosi manusia. Mungkin dari setiap kata yang tertulis di sini, Anda bisa menemukan sedikit cerminan dari diri sendiri, atau setidaknya, menemukan inspirasi untuk mulai mencurahkan isi hati Anda sendiri.

Bayangan Masa Lalu yang Menghantui

Seringkali, hal-hal yang sudah berlalu justru meninggalkan jejak yang paling dalam. Kenangan, baik pahit maupun manis, bisa kembali datang menghantui, membangkitkan lagi luka yang belum sembuh atau penyesalan yang belum termaafkan. Bagian ini berisi catatan tentang bagaimana masa lalu membentuk kegalauan di masa kini.

Senja yang Merah Jambu, Hati yang Kelabu

17 Oktober

Senja ini sama indahnya seperti senja itu dulu. Langit berwarna merah jambu, perlahan memudar menjadi ungu tua, seperti memudar pula harapanku. Aku melihat kursi taman yang dulu sering kita duduki, dan rasanya semua kenangan membanjiri lagi. Kenapa harus sejelas ini? Kenapa setiap detailnya masih begitu lekat di benakku? Aku mencoba mengusirnya, mencoba bilang bahwa itu sudah berlalu. Tapi hatiku seolah punya pikirannya sendiri, terus memutar ulang adegan-adegan lama. Suaramu, tawamu, bahkan aroma parfummu yang samar, semua terasa nyata di sini, di kepalaku. Aku benci betapa rapuhnya aku di hadapan kenangan. Aku ingin maju, tapi kakiku terasa diikat oleh bayanganmu. Bagaimana cara melepaskan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari diriku?

Mungkin aku terlalu naif waktu itu, terlalu mudah percaya, terlalu cepat memberi seluruh hati. Sekarang, yang tersisa hanyalah puing-puing penyesalan dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Haruskah aku menyalahkan diri sendiri? Atau menyalahkan keadaan? Entahlah. Yang kutahu, setiap kali senja tiba, ada sebilah pisau tak kasat mata yang mengiris tipis-tipis hatiku, mengingatkan akan semua yang telah hilang. Dan aku tidak tahu sampai kapan aku harus terus merasakan sakit ini. Semoga saja esok, senja tidak lagi membawa ingatanmu.

Kata yang Tak Terucap, Penyesalan yang Membekas

02 November

Aku kembali memikirkannya. Kata-kata yang seharusnya kukatakan, keputusan yang seharusnya kuambil. Rasanya seperti ada film bisu yang terus berputar di kepalaku, memperlihatkan semua skenario "seandainya". Seandainya aku berani mengatakan perasaanku waktu itu. Seandainya aku tidak terlalu takut untuk mengambil risiko. Apa mungkin semuanya akan berbeda? Apa mungkin hari-hariku tidak akan sesunyi ini sekarang?

Penyesalan ini bukan tentang apa yang telah kulakukan, melainkan tentang apa yang tidak kulakukan. Ada begitu banyak kesempatan yang kubiarkan lewat begitu saja, tenggelam dalam ketakutan dan keraguan. Sekarang, melihat orang lain bahagia dengan pilihan mereka, aku merasa semakin kecil, semakin tidak berarti. Apakah aku ditakdirkan untuk selalu menyesali hal-hal yang luput dari genggamanku? Aku ingin sekali bisa kembali ke masa itu, meskipun hanya lima menit, untuk mengubah satu hal kecil saja. Tapi waktu tidak pernah memberiku kesempatan kedua. Jadi, di sinilah aku, terjebak dalam labirin "seandainya", berharap suatu saat nanti aku bisa memaafkan diriku sendiri atas kelambanan dan ketakutanku.

Refleksi dari hati yang pudar.

Liku-liku Perasaan yang Tak Terucap

Ada kalanya hati merasakan gejolak hebat, namun lisan tak mampu merangkai kata. Perasaan yang tertahan ini bisa menjadi sumber kegalauan yang mendalam, terutama ketika melibatkan cinta, harapan, dan cemburu yang terpendam. Bagian ini menangkap momen-momen saat kata-kata seolah membeku di tenggorokan, meninggalkan hati yang berteriak dalam diam.

Harapan yang Tergantung di Ujung Senyummu

10 Desember

Aku melihatmu tersenyum padanya hari ini. Senyum yang sama yang selalu membuat jantungku berdebar tak karuan setiap kali kau arahkan padaku. Tapi hari ini, senyum itu bukan untukku. Ada rasa perih yang menjalar di dadaku, seperti tertusuk duri yang tak terlihat. Aku tahu, aku tidak punya hak untuk cemburu. Aku siapa? Hanya seorang teman, mungkin bahkan tidak. Tapi, bagaimana aku bisa menghentikan hati ini yang terus berharap? Berharap bahwa suatu hari nanti, senyum itu, tatapan itu, akan sepenuhnya menjadi milikku.

Setiap kali kita bicara, aku selalu mencari-cari tanda. Apakah ada sedikit saja sinyal bahwa perasaan ini tidak bertepuk sebelah tangan? Tapi kau selalu baik pada semua orang, ramah pada semua orang. Kebaikanmu itu bagai pedang bermata dua bagiku. Menenangkan sekaligus melukai. Aku benci diri sendiri yang begitu lemah, yang terus-menerus membangun istana di atas pasir harapan yang rapuh. Mungkin aku harus berhenti. Berhenti berharap, berhenti mencintaimu dalam diam. Tapi bagaimana caranya? Kau sudah terukir begitu dalam di setiap sudut hatiku.

Cemburu yang Menusuk dalam Diam

25 Januari

Aku melihatmu tertawa lepas bersamanya. Mereka bercanda, saling ejek, dan ada kehangatan yang terpancar dari interaksi mereka. Sementara aku? Aku hanya bisa berdiri di pinggir, pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi mataku tak bisa lepas dari kalian. Rasa cemburu itu merayap perlahan, dingin dan mematikan, seperti racun yang menyebar di nadiku. Aku tahu itu perasaan yang buruk, perasaan yang tidak seharusnya kumiliki, apalagi aku tidak punya status apa-apa denganmu.

Tapi bagaimana aku bisa menahannya? Melihat orang yang kuinginkan begitu dekat dengan orang lain, berbagi tawa, berbagi cerita. Rasanya seperti ada sekat tak terlihat yang memisahkanku dari kebahagiaan itu. Aku ingin sekali bisa menghampiri, bergabung, menjadi bagian dari tawa kalian. Tapi lidahku kelu, kakiku terpaku. Aku hanya bisa mengamati dari jauh, memendam semua rasa sakit ini sendirian. Aku benci perasaan ini. Aku benci betapa aku ingin kau melihatku, hanya aku, bukan dia. Kapan perasaan cemburu yang menghimpit ini akan berakhir?

Kebingungan Hati di Persimpangan Jalan

08 Februari

Aku merasa tersesat. Ada dua jalan di depanku, dan aku tidak tahu harus memilih yang mana. Ada satu orang yang menunjukkan perhatiannya padaku, yang selalu ada, yang membuatku merasa nyaman. Tapi ada juga bayanganmu, yang entah kenapa masih begitu kuat menghantui, membuatku ragu untuk melangkah maju dengan yang lain. Aku tidak ingin melukai siapa pun, tapi pada akhirnya, aku merasa akan melukai diriku sendiri dengan kebingungan ini.

Apakah aku hanya terlalu takut untuk move on? Atau memang perasaanku padamu masih sekuat itu, meskipun kau sudah jauh dan tak terjangkau? Aku merasa jahat karena masih memikirkanmu saat ada orang baik yang mencoba mendekatiku. Tapi bagaimana bisa aku membohongi perasaanku sendiri? Rasanya seperti ditarik ke dua arah yang berbeda, membuat hatiku remuk. Aku butuh kejelasan, butuh arah, tapi yang kudapat hanyalah kabut yang semakin pekat. Aku hanya ingin menemukan kedamaian, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuiku ini.

Beban Pikiran dan Ekspektasi

Tidak hanya masalah hati, tekanan dari lingkungan dan ekspektasi diri sendiri seringkali menjadi pemicu kegalauan yang tak kalah kuat. Kekhawatiran akan masa depan, perasaan tidak cukup, dan kesendirian di tengah keramaian adalah beberapa bentuk beban pikiran yang seringkali sulit untuk dibagi.

Tekanan Masa Depan yang Menggila

14 Maret

Semua orang bertanya tentang masa depanku. Kuliah di mana? Kerja apa? Kapan menikah? Seolah hidup ini adalah daftar centang yang harus segera diselesaikan. Aku merasa seperti dikejar-kejar oleh ekspektasi yang tinggi, baik dari orang tua maupun dari diriku sendiri. Padahal, aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Setiap hari, pikiran tentang masa depan itu seperti awan hitam yang menggantung di atas kepalaku, siap menurunkan hujan badai kapan saja.

Aku takut. Takut tidak bisa memenuhi harapan. Takut salah mengambil keputusan. Takut akhirnya mengecewakan semua orang, terutama diriku sendiri. Aku melihat teman-temanku sudah punya rencana matang, punya impian yang jelas. Sementara aku? Aku masih saja meraba-raba dalam kegelapan. Aku ingin bisa santai, menikmati proses, tapi suara-suara di kepalaku tidak pernah berhenti berbisik, "Kau harus cepat! Kau harus sukses!" Kapan aku bisa bernapas lega dari semua tekanan ini? Aku hanya ingin menemukan jalanku sendiri, meskipun itu berarti aku harus tersesat beberapa waktu.

Merasa Tak Cukup di Setiap Sudut

05 April

Hari ini, aku merasa seperti tak punya harga. Apa pun yang kulakukan, rasanya selalu kurang. Nilai ujian tidak maksimal, presentasi kurang memukau, bahkan saat berbicara dengan teman, rasanya aku selalu mengatakan hal yang salah. Ada suara kecil di kepalaku yang terus berkata, "Kau tidak cukup baik. Kau tidak sehebat mereka." Dan suara itu semakin keras setiap kali aku melihat keberhasilan orang lain.

Aku membandingkan diriku dengan semua orang. Teman yang pandai, teman yang populer, teman yang selalu ceria. Lalu aku melihat diriku, yang hanya bisa merenung, yang selalu merasa cemas. Aku ingin sekali bisa merasa bangga dengan diriku sendiri, dengan apa adanya aku. Tapi sulit sekali. Sulit sekali untuk menyingkirkan bayangan ketidaksempurnaan ini. Aku lelah merasa tidak cukup. Aku hanya ingin bisa menerima diriku sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihanku, tanpa harus terus-menerus mencari validasi dari orang lain.

Kesendirian di Tengah Keramaian

20 April

Ada banyak orang di sekitarku, teman-teman, keluarga. Mereka tertawa, bercerita, tapi aku merasa begitu jauh, begitu sendiri. Rasanya seperti ada dinding transparan yang memisahkanku dari mereka. Aku mendengar tawa mereka, melihat senyum mereka, tapi aku tidak bisa merasakan kehangatan yang sama. Aku mencoba untuk bergabung, mencoba untuk terlihat baik-baik saja, tapi ada bagian dari diriku yang hanya ingin menghilang.

Aku merasa lelah berpura-pura. Lelah menyembunyikan kegalauan ini di balik senyuman paksa. Aku ingin ada seseorang yang benar-benar bisa melihatku, melihat apa yang kurasakan di dalam hati, tanpa perlu aku jelaskan. Tapi aku tahu, itu terlalu banyak permintaan. Bagaimana bisa orang lain melihatku jika aku sendiri tidak berani menunjukkan diriku yang sebenarnya? Mungkin aku memang ditakdirkan untuk merasakan kesendirian ini, meskipun dikelilingi oleh banyak orang. Sebuah ironi yang menyakitkan.

Hati yang rapuh mencari ketenangan.

Drama Persahabatan dan Hubungan

Hubungan dengan orang-orang terdekat, terutama teman dan orang yang kita sayangi, seringkali menjadi arena bagi berbagai emosi kompleks. Persahabatan yang renggang atau terasa dikhianati bisa meninggalkan luka yang dalam, sama pedihnya dengan luka hati lainnya.

Pertengkaran yang Membekukan

01 Mei

Aku bertengkar lagi dengannya. Kali ini rasanya lebih parah dari sebelumnya. Kata-kata tajam keluar begitu saja, melukai tanpa sengaja, atau mungkin sengaja. Sekarang ada jarak yang membeku di antara kami, lebih dingin dari kutub utara. Aku mencoba menghubungi, tapi pesanku hanya dibaca, tanpa balasan. Rasanya ada sesuatu yang patah di dalam persahabatan kami, sesuatu yang mungkin tidak bisa diperbaiki lagi.

Aku merindukan tawa kami, cerita-cerita konyol kami. Tapi aku terlalu gengsi untuk minta maaf lebih dulu, dan dia juga sepertinya begitu. Ego ini memang sialan. Aku benci perasaanku saat ini, merasa kehilangan, tapi juga terlalu keras kepala. Apakah persahabatan kami memang ditakdirkan untuk berakhir seperti ini? Aku tidak tahu bagaimana harus memperbaikinya. Aku hanya bisa menunggu, berharap waktu akan mencairkan es di antara kami, atau setidaknya memberiku keberanian untuk melangkah duluan.

Merasa Dikhianati oleh Kepercayaan

12 Mei

Aku mendengar sesuatu hari ini, sesuatu yang membuat perutku mual. Rupanya dia membicarakan rahasiaku, rahasia yang sudah kuceritakan dengan penuh kepercayaan. Rasanya seperti ditampar. Aku tidak menyangka dia bisa melakukan itu padaku. Orang yang kukira bisa kupercaya sepenuhnya, orang yang selalu ada saat aku butuh tempat bercerita.

Sekarang, setiap kali aku melihatnya, ada rasa jijik dan kecewa yang menyelimutiku. Bagaimana bisa aku mempercayai orang lain lagi setelah ini? Aku merasa bodoh, terlalu mudah membuka diri. Pelajaran ini datang dengan harga yang mahal, yaitu rasa sakit yang luar biasa. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya, atau apakah aku bisa memaafkannya. Yang kutahu, ada retakan besar dalam kepercayaanku, dan itu mungkin tidak akan pernah utuh kembali.

Jarak yang Tercipta Tanpa Kata

28 Mei

Dia pergi hari ini. Bukan pergi jauh, tapi pergi dari hidupku, perlahan-lahan. Kami tidak bertengkar, tidak ada drama. Hanya saja, perlahan tapi pasti, kami semakin menjauh. Pesan-pesan yang dulu tak pernah putus, kini hanya berisi balasan singkat. Pertemuan yang dulu rutin, kini hanya tinggal kenangan.

Rasanya aneh. Seperti kehilangan tanpa benar-benar ada perpisahan. Aku merasa ada kekosongan yang semakin besar, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengisinya. Apakah ini yang namanya tumbuh dewasa? Orang-orang datang dan pergi? Aku tidak suka dengan bagian itu. Aku ingin semua tetap sama, tetap dekat. Tapi sepertinya waktu punya rencananya sendiri, dan aku hanya bisa pasrah melihat jarak ini semakin lebar, menelan semua kenangan indah yang pernah ada. Hatiku berat sekali, seperti ada beban tak kasat mata yang menghimpit.

Ketika Dunia Terasa Berat

Ada saat-saat di mana segala sesuatunya terasa hambar, semangat memudar, dan pertanyaan-pertanyaan besar tentang keberadaan mulai memenuhi pikiran. Bagian ini mengeksplorasi perasaan lelah mental, pencarian makna, dan momen kehilangan motivasi yang membuat dunia terasa abu-abu.

Hari yang Kelabu Tanpa Alasan Jelas

07 Juni

Aku bangun pagi ini dengan perasaan hampa. Tidak ada alasan yang jelas. Langit cerah, burung berkicau, tapi hatiku terasa seperti langit mendung. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Tidak ingin bicara dengan siapa pun. Hanya ingin bersembunyi di balik selimut dan berharap hari ini segera berakhir.

Ini bukan kali pertama. Kadang perasaan ini datang begitu saja, tanpa pemicu. Rasanya lelah sekali, meskipun tidak melakukan apa-apa. Energi seolah terkuras habis hanya untuk bernapas dan berpura-pura baik-baik saja. Aku benci perasaan ini. Perasaan seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berdasar. Aku hanya ingin kembali merasakan semangat, kembali merasakan gairah. Tapi saat ini, semua itu terasa begitu jauh, begitu mustahil. Semoga esok hari membawa sedikit cahaya, atau setidaknya, sedikit alasan untuk tersenyum.

Pencarian Makna di Tengah Kekosongan

19 Juni

Untuk apa semua ini? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Sekolah, kerja, mengejar impian... apakah pada akhirnya semua itu akan membuatku bahagia? Aku melihat orang-orang yang mengejar kesuksesan, tapi raut wajah mereka seringkali terlihat lelah dan kosong. Lalu untuk apa aku berlari? Aku merasa seperti roda hamster, terus berputar tanpa tahu tujuan akhirnya.

Ada kekosongan besar di dalam diriku. Aku mencoba mengisinya dengan berbagai hal: membaca buku, menonton film, berkumpul dengan teman. Tapi kekosongan itu tetap ada, menganga. Aku ingin menemukan makna, menemukan tujuan yang membuatku merasa hidup. Tapi di mana aku harus mencarinya? Apakah makna itu benar-benar ada, atau hanya ilusi yang diciptakan manusia untuk bertahan hidup? Aku merasa tersesat dalam pencarian ini, dan kebingungan ini semakin memperparah kegalauanku.

Kehilangan Semangat dan Arah

03 Juli

Aku merasa kehilangan semangat. Semua hal yang dulu kusukai, kini terasa hambar. Belajar? Rasanya membosankan. Hobi? Tidak ada gairah. Bahkan untuk bangun dari tempat tidur pun terasa seperti perjuangan besar. Aku tidak tahu mengapa. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang mati, yang menolak untuk merasakan apa-apa.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, "Apa yang salah denganku?" Aku melihat orang lain begitu bersemangat menjalani hari-hari mereka, mengejar impian, tertawa riang. Aku ingin menjadi seperti itu. Aku ingin kembali merasakan percikan api dalam diriku, percikan yang membuatku ingin meraih bintang. Tapi saat ini, aku hanya ingin berdiam diri, membiarkan waktu berlalu, berharap suatu keajaiban akan datang dan mengembalikan semangat yang hilang. Aku lelah dengan ketiadaan arah ini. Aku hanya ingin menemukan kembali diriku yang dulu, yang penuh harapan dan impian.

Langit hati yang tak selalu cerah.

Sedikit Cahaya di Ujung Terowongan

Meskipun kegalauan seringkali terasa seperti terowongan panjang tanpa ujung, selalu ada harapan kecil, momen ketenangan, atau bahkan janji pada diri sendiri untuk bangkit. Bagian terakhir ini mencoba menangkap percikan-percikan harapan itu, bukti bahwa di tengah badai sekalipun, kita masih bisa menemukan kekuatan untuk terus berjalan.

Momen Ketenangan Singkat di Tengah Badai

15 Juli

Pagi ini, aku duduk di dekat jendela, membiarkan cahaya matahari menyentuh wajahku. Ada semilir angin yang sejuk, membawa aroma bunga melati dari halaman tetangga. Untuk beberapa saat, aku tidak memikirkan apa pun. Tidak ada kekhawatiran, tidak ada penyesalan, tidak ada beban. Hanya ada aku, dan ketenangan yang begitu damai.

Momen-momen seperti ini sangat jarang, tapi sangat berharga. Rasanya seperti diberi jeda singkat dari hiruk pikuk pikiranku sendiri. Aku tahu, kegalauan ini tidak akan hilang begitu saja. Tapi setidaknya, aku tahu ada momen-momen di mana aku bisa bernapas lega, di mana aku bisa merasakan kedamaian. Mungkin, ini adalah tanda bahwa aku tidak sendirian, bahwa ada kekuatan di dalam diriku yang akan selalu mencari cahaya. Aku akan mencoba menyimpan momen ini baik-baik, sebagai bekal untuk menghadapi hari-hari yang mungkin kembali mendung.

Belajar Menerima yang Tak Bisa Diubah

01 Agustus

Aku menyadari sesuatu hari ini. Ada hal-hal yang tidak bisa kuubah, sekeras apa pun aku mencoba. Masa lalu tidak bisa kembali, perasaan orang lain tidak bisa kupaksa, dan ekspektasi dunia kadang di luar kendaliku. Untuk waktu yang lama, aku melawan semua itu, dan hanya mendapatkan kelelahan serta rasa sakit.

Mungkin, kuncinya adalah menerima. Menerima bahwa aku bukan mesin yang sempurna, bahwa aku punya batasan, bahwa tidak semua hal bisa sesuai dengan harapanku. Ini bukan berarti aku menyerah, melainkan belajar untuk melepaskan beban yang tidak perlu kupikul. Proses ini sulit, sangat sulit. Aku masih sering merasa cemas dan sedih. Tapi, setidaknya, aku sudah memulai. Aku mulai mencoba untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan, dengan kenyataan yang tidak selalu indah. Semoga langkah kecil ini bisa membawaku pada kedamaian yang lebih langgeng.

Sebuah Janji pada Diri Sendiri

10 Agustus

Aku berjanji pada diriku sendiri hari ini. Aku akan lebih baik. Aku tidak akan lagi terlalu keras pada diriku sendiri. Aku akan memberi ruang untuk semua perasaanku, baik yang bahagia maupun yang sedih. Aku akan lebih mendengarkan hatiku, dan lebih berani untuk mengambil langkah-langkah kecil menuju kebahagiaanku sendiri, apapun bentuknya.

Ini bukan janji untuk menjadi sempurna, karena aku tahu itu mustahil. Ini adalah janji untuk menjadi lebih manusiawi, lebih jujur pada diriku sendiri. Aku akan mencari bantuan jika aku merasa tidak sanggup lagi. Aku akan mencintai diriku sendiri, meskipun itu terasa sulit. Perjalanan ini mungkin panjang dan penuh liku. Aku mungkin akan terjatuh lagi, merasakan galau lagi. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku percaya, di balik awan mendung, pasti ada mentari yang menunggu. Dan aku akan terus berjalan menuju mentari itu, selangkah demi selangkah.

Mencurahkan isi hati melalui diary adalah sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan yang mungkin penuh dengan air mata, kebingungan, dan keputusasaan, namun juga diwarnai oleh momen-momen refleksi, penerimaan, dan harapan yang baru. Setiap kata yang tertulis adalah langkah kecil dalam proses memahami diri sendiri, menerima emosi yang ada, dan pada akhirnya, tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat.

Semoga kumpulan curahan hati ini, kumpulan contoh diary galau ini, dapat menjadi pengingat bahwa tidak ada yang salah dengan merasa gundah. Itu adalah bagian dari pengalaman manusia, bagian dari proses kehidupan yang membentuk kita. Teruslah menulis, teruslah merasa, dan teruslah percaya bahwa di setiap akhir kesedihan, selalu ada awal dari sebuah kekuatan baru.

Harapan tumbuh dari setiap pengalaman.